Sejak pandemi melanda dunia, kami sekeluarga benar-benar membatasi diri untuk liburan. Biasanya, tiap akhir pekan atau minimal dua minggu sekali, kami pergi ke destinasi wisata lokal di daerah kami, Kulonprogo. Namun, ternyata di rumah saja juga membuat pikiran suntuk dan bosan. Bahkan, mempengaruhi emosi, baik kami yang dewasa maupun si kecil.
Berbagai cara untuk release sudah kami lakukan. Saya meluangkan banyak waktu untuk menulis dan berkebun, sedangkan suami lebih suka memelihara ikan hias. Untuk anak gimana? Kami tetap ajak dia "jalan-jalan" bohongan. Kok bohong? Iya, karena hanya kami ajak naik motor muter kompleks doang.
Kebetulan rumah kami tidak jauh dari rel kereta api dan bandara. Nah, sebulan sekali kami keliling naik motornya agak jauhan, melewati jalanan di tepi rel lalu berbelok ke arah bandara. Kalau ada kereta api lewat atau pas ada pesawat, ya itu hiburan buat si kecil. Heboh dan kegirangan, deh. Kalau nggak ada? Ya sudah, nggak harus dipaksakan berhenti untuk menunggu juga. Intinya hanya cari angin dan menjauhi tempat ramai. Tentu saja, saat keluar rumah, kami tetap mematuhi protokol kesehatan.
Nah, belum lama ini (tepatnya hari Minggu sebelum libur Natal dan Tahun Baru), ketika kami keliling di dekat bandara, kami baru tahu ada pantai lokal yang lagi jadi idola. Namanya Pantai Mlarangan Asri. Kata penduduk sana, sih, sebenarnya sudah lama ada. Hanya saja memang tidak terkenal. Berbeda dengan Pantai Glagah Indah yang sudah dikenal penduduk seantero Indonesia.
Jalan menuju pantai ini hanya sebuah setapak corblok, tetapi muat untuk mobil lewat. Lumayan sudah bagus. Di kanan kiri jalan hanyalah sawah atau kebun. Kebanyakan tanaman sayur dan buah.
Awalnya, kami nggak berniat mampir. Namun, karena melihat pantai ini masih sepi sekali, jadi kami sempatkan untuk singgah sebentar.
Di pantai ini sudah ada lahan parkir yang nggak begitu luas dan masih diakomodir oleh penduduk sekitar. Ada juga beberapa gubuk yang menjual makanan dan minuman, tetapi yang buka hanya satu dua warung saja. Selebihnya, tutup.
Dari tempat parkir, pengujung sudah bisa melihat pantai dan mendengar deburan ombak. Suguhan pertama di sana adalah hutan cemara dengan beberapa ayunan tergantung di setiap pohonnya. Ayunan ini bisa dinaiki orang dewasa atau pun anak-anak.
Saat di hutan cemara, kami masih merasa takjub. Namun, ketika sampai di pinggir pantai, kami agak kecewa. Pantainya agak kotor, banyak sampah di sana, baik sampah bekas makanan maupun sampah pepohonan yang hancur. Padahal ada banyak tempat sampah, loh. Kalau untuk sampah pohon, kata pak suami dulu di tepi pantai banyak pohon cemara tinggi dan penuh sampai bibir pantai. Akan tetapi, mulai hilang karena terkena abrasi.
Ketika kami ke sana waktu itu, yang paling banyak adalah pemancing. Kami sempat mengobrol sedikit dengan salah satu dari mereka. Dia bilang sudah duduk di tepi pantai itu dari setelah subuh. Haha. Gitu, ya, kalau udah seneng, mah.
Oke, next.
Di pantai itu, kami hanya sebentar (padahal satu jam). Datang, beli minum, foto, pulang. Haha. Pertama karena panas, ya kali main ke pantai jam satu siang. Salah siapa? Salah sopir, ups. Kedua, khawatir akan banyak pengunjung datang, soalnya kata penjaga parkir kalau hari Minggu biasanya ramai di pagi dan sore hari.
Seandainya nggak lagi situasi pandemi, mungkin tempat ini memang ramai dan lebih booming. Semoga nanti setelah badai ini berlalu, pantai ini lebih tertata dan terakomodir lagi.
Nah, ini beberapa foto kami di sana. Kebetulan hari cerah, jadi langit pun cucok dijadikan background foto.
Kalau kamu, biasanya kalau liburan gini suka kemana, nih, gaes?
03012021
~ Ibun Domi ~
Komentar
Posting Komentar