Sejak pandemi melanda, aku semakin sering menumpahkan segalanya melalui tulisan. Hobi yang satu ini, akhirnya membuatku punya mimpi memiliki sebuah buku karya sendiri.
Berhubung belum pede dengan tulisan sendiri untuk naik cetak, aku memilih mengalihkan beberapa cerita yang aku tulis ke sebuah platform menulis. Beberapa platform telah aku coba demi sebuah peruntungan, hingga akhirnya bertahan di tiga aplikasi.
Sudah ada lima novel on going yang aku tulis. Meski lamban aku up, tetapi aku senang saat ada beberapa pembaca yang sangat mendukungku.
Nah, novel ini adalah salah satu tulisan pertamaku. Saat ini belum sampai bab akhir, tetapi sudah ada sebagian yang aku share di salah satu platform menulis online warna hijau
Kisah ini diangkat dari kisah nyata yang merupakan pengalaman pribadi. Cerita yang hampir sama persis hanyalah bagian cerita Anaqu saja. Tokoh lain dan alurnya dibuat agak berbeda dari aslinya agar menjadi cerita fiksi.
Novel ini adalah sekuel dari novel Mas Pinky. InsyaAllah juga akan segera yayang secara online di sebuah platform menulis nantinya.
Rencananya, novel KCUA juga akan menjadi novel pertama yang ingin aku bawa naik cetak. Beberapa pembaca memang ingin memeluk bukunya. Sungguh, sebenarnya aku masih nggak pede. Namun, aku harus belajar menghargai karyaku sendiri.
Oh, ya, jika ada yang penasaran, boleh loh mampir ke platform menulis warna hijau. Berikut aku kasih blurb ceritanya.
Jangan tinggalkan jejak juga,ya.
----
Setiap pasangan yang menikah selalu mendambakan keluarganya bahagia dan memiliki anak yang tumbuh dengan sempurna. Namun, tidak jarang takdir berkata lain.
Meylla dan Anandito dianugrahi seorang bayi yang istimewa. Sayang, mereka hidup di lingkungan yang penuh dengan mitos. Tidak ada dukungan dan pelukan yang menguatkan. Mereka dicaci, dikucilkan, dianggap mencari pesugihan dengan mengorbankan anaknya. Cibiran yang menyudutkan membuat Meylla depresi dan harus menjalani perawatan khusus.
Air mata pun tidak pernah lepas mengiringi langkah mereka. Jatuh bangun melawan penolakan dalam diri.
Lantas, mampukah mereka berdamai dan berani bersuara lantang menantang mitos-mitos itu?
----
Aurumi Azzati
Komentar
Posting Komentar