Pernah ada yang bertanya,
"Bun, apa yg Ibun rasakan saat pertama kali tahu anak terdiagnosis kelainan?"
Kemudian ditimpali,
"Aku nggak akan bisa sekuat kamu, Bun."
.
.
Rasanya, ya? Seperti mati rasa.
Iya, itu yang saya rasakan pertama kali.
Anaqu keluar dari rahim saya dengan keadaan sudah hampir tak bernyawa. Kemudian disusul dengan kejadian-kejadian lain, seperti kejang dan kritis, juga anfal di kemudian hari.
Ketika itu, rasanya dada saya kosong. Saya bernafas, tapi seakan-akan nggak ada udara yang terhirup. Bloooong. Melowong.
Mau nangis, nggak bisa. Begitu nangis, dicerca kalimat 'jangan nangis!' dari berbagai pihak.
Belum lagi asi yg seret. Di awal-awal memang baru keluar sedikit, tetapi makin lama makin berkurang. Mantap lah, semakin gak karuan.
Pingsan. Iya, pernah.
Saya pingsan setelah bisa menangis dg sepuasnya, mengeluarkan semua beban di depan seorang nakes.
Namun, setelahnya ploooong.
Setelah Anaqu keluar dr NICU, saya pikir masalah selesai.
Tidak.
Saya mengalami stress. Saya babyblues.
Saya selalu ketakutan tentang bagaimana kondisi Anaqu.
Namun, minimnya ilmu pada waktu itu ditambah terkungkung dalam permitosan, membuat saya memilih diam, menahan beban sendiri.
Malu? Bukan.
Bukan karena malu, tetapi karena sudah tahu jawabannya nggak sesuai dengan ekspektasi.
Hingga akhirnya saya ketemu dengan komunitas yang mendukung. Lalu bertemu psikolog yang selalu membantu saya keluar dr semua rasa pahit asam kehidupan.
Saya bangkit.
Perlahan saya merubah apa yg saya pikiran, saya takuti.
Yess..mencoba kuat.
Belajar mengembalikan pada diri sendiri, bagaimana mencintai dan menerima diri.
Nggak mudah, memang.
Semakin saya menikmatinya, saya semakin merasakan betapa indah apa yg Tuhan berikan.
Bersyukur, untuk setiap hal kecil apapun itu.
Menjadi orang tua dari anak istimewa itu anugrah yg sungguh luar biasa.
Jika saat ini saya ditanya, "Bun, apa rasanya jadi orang tua istimewa?"
Rasanya?
BAHAGIA. Saya BAHAGIA.
Dan saya mensyukurinya.
- Aurumi Azzati -
Komentar
Posting Komentar